Asal Mula Kalijodo
Dalam tradisi China, Peh
Cun adalah tradisi yang diselenggarakan setiap hari 100 penanggalan imlek.
Salah satu tradisi dalam perayaan Peh Cun adalah pesta air. Pesta air itu
diikuti oleh muda-mudi laki-laki dan perempuan yang sama-sama menaiki perahu
melintasi Kali Angke.
Ridwan Saidi mengenang,
masa itu setiap perahu akan berisi tiga sampai empat orang laki-laki atau
perempuan. Di perahu tersebut, si laki-laki akan melihat ke perahu yang berisi
perempuan. Jika laki-laki senang dengan perempuan yang ada di perahu lainnya ia
akan melempar kue yang bernama tiong cu pia. Kue ini terbuat dari campuran
terigu yang di dalamnya ada kacang hijau. Bagi perempuan yang ditaksir jika ia
senang ia akan melemparkan kue sejenis ke arah laki-laki yang menyukainya. Dari
sinilah kemudian kawasan ini berubah menjadi Kalijodo karena menjadi kawasan
untuk mencari jodoh.
Berbeda dengan saat ini,
di masa itu Kali Angke masih jernih. Itulah mengapa walau tradisi ini dilakukan
oleh etnis Tionghoa, tetapi masyarakat umum tetap memadati Kali Angke untuk
melihat perayaan tersebut. Tradisi Peh Cun dan Imlek sendiri tidak lagi
dirayakan setelah tahun 1958 setelah pemerintah mengeluarkan aturan tentang hal
tersebut. Aturan tersebut dibuat oleh Wali Kota Jakarta Sudiro yang menjabat
diera 1953-1960. Walikota masa itu, jabatannya setara dengan gubernur di
masa kini.
Kalijodo menjadi lokalisasi
Salah satu lokasi
prostitusi yang telah ada di Jakarta sejak abad ke-18 adalah Kawasan Kalijodo.
Salah satu buku yang menggunakan kawasan lokalisasi ini sebagai setting adalah
Ca-Bau-Kan yang ditulis oleh Remy Silado. Bahkan pada bab II, Remy menuliskan
bab khusus tentang Kalijodo.
Berbeda dengan Ridwan
Saidi yang menceritakan asal muasal nama nama Kalijodo berdasarkan pesta air
pada tradisi Peh Cun, Remy Silado dalam novelnya menceritakan jika ca-bau-kan
lah yang kemudian melahirkan istilah ini. Ca-Bau-Kan sendiri artinya perempuan.
Tetapi mengalami penyempitan makna menjadi perempuan pribumi yang diperbini
Tionghoa dalam kedudukan yang tidak selalu memperdulikan hukum Hindia Belanda.
Dan kemudian menjadi Ca-bo untuk menyebut istilah pelacur.
“Kali jodo selama berabad
telah menjadi tempat paling hiruk pikuk di Jakarta. Di sini, sejak dulu
terlestari kebiasaan imigran Tionghoa menemukan jodoh, bukan untuk hidup
bersama selamanya, tetap sekadar berhibur diri sambil menikmati nyanyian klasik
Tionghoa, dinyanyikan para ca-bau-kan,” tulis Remy Silado. “Para tauke-tauke
yang mengelola ca-bau-kan akan memberi mereka kostum model opera berbahan
sutera dengan warna-warni menyolok disertai bordir-bordir yang bermutu. Mereka
berada di perahu-perahu yang dipasang lampion Tiongkok, bergerak pelan-pelan di
kali itu,” demikian setting novel Ca-Bau-Kan.
Di perahu itu para
Ca-bau-kan menawarkan jasanya dengan menyanyikan lagu-lagu bersyair asmara
dalam bahasa Cia-im. Walaupun ca-bau-kan ada yang perempuan tionghoa totok,
tetapi kebanyakan asli pribumi yang mahir menyanyikan lagu Tionghoa walaupun
tidak mengerti arti nyanyiannya.
Walaupun demikian,
pengunjung kalijodo bukan hanya dari etnis Tionghoa tetapi juga pelbagai suku
yang mencari hiburan di situ. Walaupun pada awalnya, kegiatan prostitusi
tersebut dilakukan diatas perahu yang berlayar dari kwitang ke Kalijodo,
lambat-laun berubah menjadi rumah-rumah bordir.
Catatan:
Tindakan yang dilakukan ahok menurut saya merupakan tindakan yang benar. Walaupun Kalijodo tempat mencari uang untuk beberapa orang, tapi dengan cara itu adalah cara yang salah dan haram. Ada baiknya setelah penggusuran para pekerja Kalijodo diberikan pelatihan dan bimbingan untuk membantu mencari kerja dengan cara yang lebih halal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar