Sejarah bulutangkis di Indonesia sudah cukup lama. Ada
yang memperkirakan, bangsa Indonesia sudah mengenal bulutangkis sejak tahun
1930-an. Saat itu, bulu tangkis dinaungi oleh Ikatan Sport Indonesia (ISI).
Bulutangkis makin berkembang pasca kemerdekaan. Pada tahun 1947, di Jakarta,
berdiri persatuan bulutangkis bernama Persatuan Olahraga Republik Indonesia
(PORI). Dan, pada 5 Mei 1951, terbentuklah Persatuan Bulutangkis Seluruh
Indonesia (PBSI).
PBSI lahir di tengah gejolak revolusi. Saat itu,
sebagai bangsa yang baru lahir, Indonesia
berjuang keras agar punya prestasi di tingkat dunia.
Bung Karno sendiri menggelorakan “Nation Building”. Ia menganjurkan agar
olahraga bisa menjadi alat untuk mengenalkan Indonesia pada dunia. Bung Karno
kemudian menerbitkan Kepres No 263/1963 untuk mencanangkan Indonesia jadi 10
besar dalam bidang olahraga. Tim bulutangkis segera menerjemahkan keinginan
Bung Karno itu. PBSI pun berpartisipasi dalam IBF tahun 1953.
Tahun 1958, Indonesia ikut piala Thomas di Singapura.
Awalnya, tim bulutangkis Indonesia belum “direken”. Jaman itu, tahun 1950-an,
raksasa bulu tangkis ada di Amerika Serikat, Malaya (Malaysia), Inggris,
Denmark, dan Thailand. Namun, siapa sangka, Indonesia justru tampil perkasa.
Dua bintang Indonesia, Tan Joe Hok dan Ferry Sonnevile, tampil di “All
Indonesian Final”. Yang patut dicatat, zaman itu masih zaman susah. Tidak
ada anggaran yang melimpah untuk pembinaan olahraga. Bahkan, untuk memulangkan
Ferry Sonnevile yang sedang belajar di Negeri Belanda, PBSI harus mengumpulkan
dana melalui “Dompet Ferry Sonnevile” untuk beli tiket pesawat.
“Oleh karena itu maka pada saat Saja memberi restu
kepada regu Thomas Cup pertama kali saya telah berkata, hai, anak-anakku, kau
pergilah kepertandingan Thomas cup itu. Aku tidak bisa memberi bekal kepadamu
daripada restuku dan daripada permintaan kepadamu, supaja engkau sekalian dedicateengkau-punja
hidup itu kepada sesuatu hal yang luhur dan suci,” demikian pesan Bung Karno
kepada tim Thomas Cup Indonesa.
Tahun 1961, tim bulutangkis Indonesia kembali merebut
piala. Indonesia menumbangkan raksasa Thailand di final. Lalu, di piala Thomas
1964 di Tokyo, Jepang, Indonesia kembali menang setelah menumbangkan Denmark.
Namun, saat piala Thomas 1967 di Jakarta, Indonesia justru gagal. Penyebabnya,
Indonesia diskor karena insiden penonton. Namun, di piala Thomas 1970 di Kuala
Lumpur, Malaysia, Indonesia berhasil membalasnya.
Era Kejayaan
Era 1960-an hingga 1970-an boleh disebut era kejayaan
bulutangkis Indonesia. Jaman itu muncul legenda besar: Rudy Hartono. Namanya
tercatat di Guinness Book of World Records sebagai pemegang rekor All-England.
Rudy Hartono merebut juara All-England sebanyak delapan kali. Tujuh kali
berturut-turut, yaitu dari 1967 hingga 1974. Kemudian menang lagi di tahun
1976. Saingan terdekatnya, Erland Kops, meraih juara 7 kali.
Sementara tim ganda putra Indonesia, Tjuntjun/Johan
Wahjudi, merebut juara ganda putra selama 6 kali. Prestasi itu menyamai rekor
Fin Kobbero/Poul Erik Nielsen (Denmark). Tahun 1980-an, China mulai muncul sebagai saingan. Di
kejuaraan All-England, Indonesia hanya menjadi juara di tahun 1981, yakni Liem
Swie King. Sisanya didominasi oleh China dan Denmark. Di ajang piala Thomas,
Indonesia hanya menang saat piala Thomas 1984 di Kuala Lumpur. Sedangkan piala
Uber diborong oleh China.
Tahun 1990-an hingga 2000-an, Indonesia bangkit lagi.
Tahun 1992, di Olimpiade Bercelona, Indonesia menorehkan sejarah baru. Dan,
sejarah itu dipersembahkan oleh olahraga Bulutangkis. Ini pertama kalinya
kontingen Indonesia membawa pulang medali emas. Dahsyatnya, tim bulutangkis
Indonesia merebut 2 emas, 2 perak, dan 1 perunggu.
Medali emas pertama diraih oleh Susi Susanti di
tunggal putri, lalu disusul oleh Alan Budikusuma di tunggal putra. Medali perak
dipersembahkan oleh Ardi B Wiranata (tunggal putra) dan Eddy Hartono-Rudy
Gunawan (ganda putra). Sementara medali perunggu diraih oleh Hermawan Susanto
(tunggal putra).
Empat tahun berikutnya, di Olympiade Atlanta, tim bulu
tangkis Indonesia kembali membawa pulang 1 medali emas, 1 perak, dan 2
perunggu. Kali ini medali emas dipersembahkan pasangan ganda putra legendaris,
Rexy Mainaky-Ricky Subagja. Sedangkan di piala Thomas Indonesia berhasil
menjuarai 5 kali berturut-turut: 1994, 1996, 1998, 2000, dan 2002. Sedangkan di
kejuaraan All-England Indonesia juara tiga kali: Ardi Wiranata (1991) dan
Haryanto Arbi (1993 dan 1994). Sedangkan di piala Uber, Indonesia menang dua
kali: 1994 dan 1996.
Masa surut
Tahun 2000an hingga sekarang, bulutangkis Indonesia
mengalami kejatuhan. Sejak 2004 hingga 2012 (era pemerintahan SBY), Indonesia
tak pernah lagi membawa pulang piala Thomas dan Piala Uber. Piala All England
juga tak pernah lagi dipegang Indonesia.
Di piala Thomas 2012, Indonesia malah tidak masuk di
semi-final. Tim Indonesia ditumbangkan Jepang. Itulah pertama-kalinya Indonesia
tidak masuk semi-final dalam kejuaraan bergengsi itu.
Apa penyebab kemunduran itu? Banyak yang menyalahkan
kepengurusan PBSI. Untuk diketahui, Ketua PBSI saat ini adalah Gita Wirjawan,
yang sekarang ini menjabat Menteri Perdagangan. Ini juga masalah: Menteri kok ngurusi
olahraga! Jadi menteri saja gak becus, apalagi memimpin PBSI. Karena
itu, sudah saatnya pengurus olahraga diserahkan kepada orang-orang yang
kompeten. Jangan lagi diserahkan kepada birokrat-birokrat yang tak tahu sama
sekali mengenai olahraga. Problem lainnya adalah lambatnya regenerasi.
Dibandingkan dengan China, yang merajai bulutangkis dunia saat ini, regenerasi
Indonesia sangat lambat. Padahal, negeri ini punya segudang legenda
bulutangkis. Faktor lainnya: minimnya dukungan fasilitas, minimnya pembinaan
usia dini, dan minimnya kompetisi.
Namun, bagi saya, ada faktor yang lebih krusial yang
membuat bulutangkis Indonesia tersungkur. Yakni, bulutangkis tak lagi menjadi
olahraga rakyat. Kita makin sulit menemukan lapangan bulutangkis di
kampung-kampung. Sementara, di sisi lain, fasilitas olahraga—termasuk GOR—mulai
dibisniskan.
Tidak sedikit atlet Indonesia yang berprestasi dulunya
pas sekarang sudah pensiun tidak jelas jadi apa. Bahkan ada yang terlantar. Ini
juga yang membuat tidak banyak kemauan yang ada dari diri anak-anak Indonesia
untuk menjadi atlet. Jika masalah-masalah mampu diatasi dengan baik, bukan
tidak mungkin Indonesia bisa bangkit dan berjaya lagi di bulu tangkis dunia.
Kesimpulan:
Saya lebih suka menonton bulu
tangkis Indonesia dibandingkan cabang olah raha yang lainnya. Walaupun saya
sendiri tidak terlalu mengikuti perkembangan bulu tangkis di Indonesia.
Setidaknya bagi saya Indonesia termasuk negara yang patut diperhitungkan dalam
hal bulu tangkis.